PEKALONGAN – Pimpinan Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PC ISNU) Kabupaten Pekalongan terus berikhtiar merawat kerukunan di tengah kemajemukan bangsa. Bekerja sama dengan Kelas Moderasi Beragama Program Studi Tadris Bahasa Indonesia (TBI) dan Ilmu Gizi UIN K.H. Abdurrahman Wahid (UIN Gus Dur), PC ISNU menyelenggarakan “Sarasehan Moderasi Beragama” di kawasan Wisata Kali Paingan, Linggoasri, Kecamatan Kajen, Sabtu (13/12/2025).


Kegiatan yang dilaksanakan di alam terbuka ini menghadirkan perjumpaan hangat antara mahasiswa, akademisi NU, dan tokoh lintas agama. Hadir sebagai narasumber Pendeta Evi Julianti Rumagit Zebua (Kristen), Herman Mulyanto (Konghucu), dan Sri Rengganis (Penghayat Kepercayaan), yang dipandu oleh moderator Khairul Anwar, M.E., Ketua PAC ISNU Tirto, yang Dosen Mata Kuliah Moderasi Beragama Prodi Gizi.


Ketua PC ISNU Kabupaten Pekalongan, Dr. Moh. Nasrudin, M.Pd.I., yang juga Dosen Mata Kuliah Moderasi Beragama dalam sambutannya menegaskan pentingnya memperluas definisi persaudaraan. Ia mengajak 50 mahasiswa yang hadir untuk menjadi agen toleransi yang memandang perbedaan sebagai rahmat, bukan ancaman.


“Toleransi harus digalakkan di tengah bangsa yang sangat berkebhinekaan ini. Kita harus saling menjaga, jangankan kepada sesama manusia, terhadap binatang dan tanaman pun jangan sampai merusak dan menyakiti,” tegas Dr. Nasrudin.


Lebih lanjut, ia menguraikan tingkatan persaudaraan (ukhuwah) yang harus dipegang teguh oleh kader NU dan mahasiswa.


“Jika kita tidak bersaudara dalam seiman (Ukhuwah Islamiyah), maka kita adalah saudara senegara (Ukhuwah Wathaniyah). Jika kita bukan saudara senegara, kita adalah saudara sesama manusia (Ukhuwah Basyariyah). Dan jika batas itu pun masih belum cukup, ingatlah bahwa kita adalah saudara sesama ciptaan Tuhan,” terang Dr. Nasrudin yang juga akademisi UIN Gus Dur tersebut.


Dalam forum tersebut, terungkap bahwa setiap keyakinan memiliki ajaran otentik mengenai jalan tengah dan kasih sayang. Pendeta Evi Julianti mengungkapkan bahwa moderasi dalam Kristen menolak ekstremisme dan mengutamakan cinta kasih sesuai ajaran Yesus Kristus.


“Di Indonesia, moderasi terwujud melalui gotong royong gereja dengan masyarakat lintas agama, membangun harmoni tanpa mengorbankan iman pribadi,” ujarnya.


Senada dengan prinsip Tawassuth (tengah-tengah) dalam NU, Tokoh Konghucu Herman Mulyanto memaparkan konsep Zhongyong atau “Jalan Tengah”.


“Seseorang harus menghindari ekstremisme dan menjaga keseimbangan. Umat Konghucu dipanggil untuk beragama secara bijaksana, membangun etika ritual (Li) dan kemanusiaan (Ren),” jelas Herman.


Sementara itu, Sri Rengganis dari komunitas Penghayat Kepercayaan menekankan harmoni kultural melalui filosofi Memayu Hayuning Bawana. Menurutnya, ritual adat seperti slametan yang melibatkan tetangga lintas keyakinan adalah wujud nyata moderasi yang telah lama mengakar di bumi Nusantara.


Kegiatan ini diharapkan mampu mencetak duta-duta moderasi beragama yang tidak hanya cakap secara intelektual, namun juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi untuk menjaga keutuhan NKRI. (Khairul A/TN92) 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama