Pati, temanggungnews.com - Lakpesdam Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah kembali menunjukkan komitmennya dalam mengawal pembahasan isu-isu krusial dalam tata kelola pesantren. Melalui Forum Group Discussion (FGD) bertema Perspektif Fikih Sosial terhadap isu Ramah Anak dan Perempuan, Lakpesdam PWNU Jawa Tengah mengundang tokoh-tokoh kunci untuk membahas tantangan sekaligus merumuskan langkah strategis pesantren. Kegiatan ini merupakan bagian dari Forum Kader NU Jawa Tengah ke-3 sekaligus memperingati Haul K.H. M.A. Sahal Mahfudh di Kampus IPMAFA Pati, Sabtu (13/9/25).
FGD ini menghadirkan dua narasumber utama, KH. Muhammad Faishol, Pondok Pesantren Al Asas Mubtadi'in Kajen dan Nyai Hj. Umdatul Baroroh, MA., Pondok Pesantren Mansajul Ulum Cebolek. Kedua narasumber dikenal aktif menyuarakan isu pembaruan pesantren dan perlindungan kelompok rentan. Adapun fasilitator diskusi adalah Dr. Ahmad Muttaqien, Pengurus Lakpesdam PWNU Jawa Tengah dan Dosen Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto. Dalam kesempatan tersebut, fasilitator menggarisbawahi bahwa diskusi ini bukan sekadar refleksi, melainkan juga bentuk advokasi nyata agar pesantren mampu bertransformasi sesuai perkembangan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya.
Tiga Respons Penting Pesantren
Dalam pemaparannya, KH. Muhammad Faishol menyoroti tekanan yang dihadapi pesantren dewasa ini, mulai dari keterbatasan fasilitas, ketidakseimbangan antara akomodasi dengan jumlah santri, hingga standar kualitas pendidikan yang semakin dituntut masyarakat. Di luar itu, muncul pula berbagai kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak yang menodai citra pesantren sebagai pusat pendidikan moral dan akhlak.
“Pesantren mesti berbenah diri agar kepercayaan masyarakat tidak memudar. Ada tiga langkah penting: memperkuat pengawasan, memperketat regulasi pendirian pesantren, dan melek media digital,” tegas KH. Faishol.
Ia merinci, pertama, pesantren harus membuka ruang yang lebih luas bagi pengawasan dari orang tua santri, komite pesantren, maupun pihak-pihak strategis lain. Hal ini mencakup pengawasan fasilitas, layanan dasar, hingga aspek pembelajaran. Kedua, pemerintah perlu lebih ketat dalam pemberian izin pendirian pesantren.
“Beberapa pesantren yang terlibat kasus adalah mereka yang secara administratif bermasalah,” katanya.
Persyaratan pendirian pesantren sebaiknya tidak hanya sebatas gedung atau fasilitas fisik, melainkan juga aspek mendasar yang menjadi ciri khas pesantren seperti pembelajaran kitab klasik dan bimbingan spiritual. Ketiga, KH. Faishol menekankan pentingnya pesantren melek media digital. Ia menyadari masyarakat kini hidup dalam ruang publik yang serba cepat dan serba digital. “Kasus kekerasan atau pelecehan di pesantren seringkali menjadi daya tarik karena memiliki sisi kontras dengan nilai-nilai pesantren. Di sinilah pentingnya komunikasi publik yang baik,” ungkapnya.
Perlindungan Anak dan Perempuan
Sementara itu, Nyai Hj. Umdatul Baroroh menyoroti perlunya pesantren melakukan otokritik secara serius. “Beberapa kasus kekerasan adalah fakta yang tidak bisa kita tolak. Apologi tidak perlu dilakukan berlebihan. Kita harus melihat dengan jernih dan kritis,” ujarnya.
Ia menyebutkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mencatat lebih dari 200 kasus kekerasan di pesantren serta data Komnas Perempuan yang menyebut 35.533 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Angka-angka ini, menurutnya, menjadi alarm keras bahwa pesantren perlu berbenah untuk melindungi anak dan perempuan sebagai kelompok rentan.
Nyai Umdatul mengusulkan pengarusutamaan perlindungan anak dan perempuan di pesantren. Perspektif lama yang menempatkan kyai atau pengasuh sebagai pemilik mutlak pesantren harus diubah. Sebagai penerima mandat publik untuk menyelenggarakan pendidikan, pengasuh harus membuka diri terhadap keterlibatan pihak luar, mulai dari orang tua, lembaga perlindungan anak, hingga regulator.
“Pesantren juga perlu mengembangkan perspektif baru yang lebih akomodatif dan berpihak kepada perempuan. Fiqih sosial seperti yang dikembangkan Mbah Sahal perlu diperluas agar pesantren lebih progresif dalam isu-isu mutakhir, terutama perlindungan anak dan perempuan,” tegasnya.
Nyai Umdatul menyampaikan apresiasi tinggi kepada Lakpesdam PWNU Jawa Tengah yang konsisten mengangkat isu perempuan dan anak dalam pesantren. Menurutnya, agenda semacam ini perlu dikawal secara simultan dan strategis agar pembenahan pesantren berjalan berkelanjutan.
“Perbaikan dan pembenahan harus terus dilakukan untuk mewujudkan pendidikan pesantren yang manusiawi dan ramah terhadap perempuan dan anak,” ujarnya.
Kegiatan FGD ini tidak hanya menjadi ruang berbagi pengalaman, tetapi juga forum konsolidasi gagasan dan advokasi. Peserta yang terdiri atas kader NU, pengasuh pesantren, akademisi, dan pegiat perlindungan anak tampak aktif menyampaikan pandangan. Diskusi berlangsung hangat dengan semangat perbaikan bersama.
Dengan mengusung tema Ramah Anak dan Perempuan dalam perspektif Fikih Sosial, M. Zainal Anwar, Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Tengah dan Dosen Pemikiran Politik Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, berharap kegiatan ini menjadi langkah nyata dalam mendorong terciptanya pesantren yang lebih terbuka, adaptif, serta melindungi semua pihak dalam ekosistem pesantren tanpa meninggalkan tradisi dan nilai luhur yang sudah mengakar. (*)
Posting Komentar